Refleksi Lagi

Pertengahan Ramadan kali ini, Alhamdulillah, bisa melaksanakan i'tikaf mandiri: introspeksi dan muhasabah diri, meski tidak sama dengan tahun sebelumnya

Sobat Aksioma! kita kembali mengulik kembali betapa hebatnya tulisan-tulisan renungan berikut ini. Kita sebut Dr. Yudi Latif, sebagai isian kolom kedua setelah edisi Refleksi Teologis yang lalu dari Karen Armstrong. 

Kang Yudi, mantan ketua BPIP, Pakar Pancasila yang sohor dengan karya-karyanya: mata air keteladanan, negara paripurna, dll, telah membuka cakrawala kita tentang bagaimana keuatamaan hidup itu: bagaimana seharusnya manusia menemukan maknanya di dunia.

Beberapa kumpulan status beliau berikut semoga mampu memberi guiden kepada para pencari. Bahagialah!!Cekidot..

#1

Kuasa Tanpa Mulia

Oleh: Yudi Latif

Saudaraku, banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. "Aib terbesar," kata Juvenalis, "ketika kamu lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan."

Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama merisaukan fenomena seperti itu. Dalam catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, yang dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis, "Bagi kebanyakan orang-orang kita 'yang bertitel'—saya pakai perkataan ini akan pengganti 'intelektuil', sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi 'orang-orang yang bertitel' itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara."

Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934 itu, situasinya tidak tambah membaik, bahkan memburuk. Gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan. Lebih parah lagi, banyak dosen/peneliti memburu gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan kapabilitas keilmuannya. 

Kegilaan banyak orang juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan kenegaraan. 

Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Namun, tatkala kedudukan itu diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus bertanggung jawab atas kehormatannya.

Perpaduan antara kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan dan surplus kehinaan. Benar juga kata George Bernard Shaw, "Titel/jabatan memberi kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior." 

(Makrifat Pagi, Yudi Latif)

https://www.instagram.com/p/CMDddqPggEj/?igshid=1w843m7pf0iqv

#2

Alami-Rasakan

Oleh: Yudi Latif

Saudaraku, bertebaranlah di muka bumi untuk merambahi segala penjuru dan keragaman dunia. Kenalilah perbedaan dan akrabi keasingan. Karena ketidakkenalan dan ketidakakraban merupakan pangkal kebencian.

Sebuah stasiun teve luar negeri pernah menyiarkan jajak pendapat tentang jenis buah dengan kesan paling busuk-mengerikan. Jawaban tertinggi jatuh pada buah durian.

Namun, bagaimana sesungguhnya rasa buah durian itu? Tak seorang pun bisa melukiskannya dengan persis. Satu-satunya cara untuk membuktikan seperti apa rasanya adalah dengan mencicipinya. Just taste it! Lawan kesan jijik, rasakan sendiri!

Orang yang tak pernah mengalami dan merasakan hidup bersama dengan sesuatu yang terkesan asing-memuakkan sering segera mengambil kesimpulan stigma yang keliru. 

Padahal, jika saja kita mau menerobos batas stigma; berani mempergauli yang aneh dengan sepenuh hati dan setulus rasa; membiarkan kepolosan indrawi dan kejujuran nurani merasakan kesejatian yang lain, kita bisa mengambil kesimpulan yang berbeda; bahwa yang tampak mengerikan itu ternyata terasa sangat indah-nikmat.

Bagi orang mancanegara yang pernah mencicipinya, durian dibilang sebagai buah dengan aroma seperti neraka, berasa seperti surga! Durian adalah buah berbau busuk, berasa lezat, yang dapat meningkatkan gairah kebersamaan. 

(Makrifat Pagi, Yudi Latif)

https://www.instagram.com/p/CMTLYHmAM4n/?igshid=1w92tjtzeel2w

#3

Orang-orang kaya baru di perkotaan terbius hasrat komodifikasi dan pamer harta. Rumah-rumah dibangun dengan memberi sedikit ruang berbagi. Sepenggal tanah terlalu berharga untuk disisakan bagi kepentingan umum.

=============

#ANALISISPOLITIK

Jiwa Kota

Oleh:  Yudi Latif

Kota ideal dalam bayangan Republik-nya Plato adalah kota berjiwa kepemimpinan filosofis yang mendenyuti tiga karakteristik utama: jiwa penalaran, semangat kompetitif, dan kenikmatan.

Kepemimpinan harus mengandung kekuatan penalaran yang dapat merangsang kesehatan berpikir dan kreativitas warga. Dengan jiwa penalaran, kota berkembang dengan perencanaan dan kebijakan yang sehat disertai daya kreatif yang tinggi. Segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar-permusyawaratan (deliberatif-argumentatif), bukan lewat jalan irasionalitas dan kekerasan. Kota tidak dipimpin dengan manajemen tambal sulam, mengandalkan impresi pencitraan dan politik adu domba, yang segala kelemahan dan keburukan kepemimpinan ditutupi dengan irasionalitas demagogi dan pembelaan buzzer.

Kepemimpinan juga harus mengandung spirit berkompetisi tinggi. Bukan sekadar berani bersaing di arena pemilihan, melainkan juga kesanggupan mengerahkan segala daya guna mengatasi masalah dan mengejar ketertinggalan, meraih prestasi tinggi, serta ketabahan mempertahankan prinsip, kebijakan, dan integritas.

Perkembangan kota tak dibiarkan disetir perseorangan dan golongan yang bisa merusak prinsip tata kelola dan tata ruang; juga tidak dibiarkan terperangkap di lubang persoalan yang sama, yang membuat derita musiman warga sebagai kewajaran.

Kepemimpinan sebagai resultante dari kedua kejiwaan tadi harus mengandung kekuatan pengungkit kenikmatan hidup warga lewat produktivitas ekonomi, kesejahteraan, dan wahana rekreasi.

Perkembangan kota menyediakan ruang-ruang aktualisasi diri bagi warga. Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat; talenta, toleransi, dan teknologi berkembang lapang. Berbagai komunitas tumbuh sebagai jaring pengaman dan konektivitas warga dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.

Kota tidak dibiarkan mengarah pada gentrifikasi yang meluaskan segregasi dan kesenjangan sosial; juga tak dibiarkan mengarah pada alienasi dan deprivasi sosial akibat kesempitan dan ketertutupan ruang-ruang perjumpaan.

Dari kehadiran jiwa kota seperti itulah muncul istilah ”politik”, yang bermula dari kata polis (kota) dalam tradisi Athena; yakni tempat segala hal diputuskan secara rasional dan berkeadaban. Dalam tradisi lain, kota juga dibayangkan dalam konotasi positif dengan sebutan seperti civic, madina, yang berarti keberadaban, kemuliaan, dan keteraturan. Max Weber mendefinisikan kota sebagai ”suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional”.

Kota ideal adalah kota ”ortogenetik” yang mengekspresikan tatanan moral, keindahan, dan kesejahteraan yang luhur, seperti Islam Cordova, Buddha Kyoto, Katolik Roma, dan Hindu Banaras.

Berbeda dengan bayangan ideal seperti itu, perkembangan kota-kota di Indonesia cenderung bersifat ”anti-teori”. Salah urus, irasionalitas, ketidakteraturan, ketidakdisiplinan, miskin perencanaan, standar rendah, keterbelakangan, budaya jorok, disorganisasi sosial, kesenjangan sosial, dan ”budaya” korup, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan alam: banjir di musim hujan, kering dan berasap saat kemarau. Dan Jakarta, sebagai ibu kota negara, begitu cepat berubah dari ”the Queen of the East” dalam imaji Belanda menjadi the dreadful city (kota kengerian) dalam lukisan Rudyard Kipling.

Kota-kota tumbuh secara ambigu tanpa karakter kuat. Ciri khas kota tradisional dunia Timur memudar, sementara rasionalitas dari kota-kota modern tak kunjung menjelma. Pembangunan infrastruktur fisik perkotaan meniru arsitektur Eropa tanpa ada aspek ideasionalnya. Di bawah gedung pencakar langit dan apartemen mewah, mentalitas ”udik” bertahan, kota bak hutan beton tanpa jiwa.

Pola permukiman dibangun menyerupai koleksi satelit-satelit tribus berbasis kesukuan, lalu berbasis okupasi, yang tak menyatu dalam suatu unit kewargaan. Tiap satelit tumbuh terpisah dalam relasi antar-urban, tak terintegrasi dalam relasi intra-urban. Pembangunan infrastruktur terpenggal-penggal, tidak membentuk jaringan yang koheren. Ego sektoral mewabah berkhidmat pada kepentingan parokial tanpa sensitivitas pada kemaslahatan bersama.

Orang-orang kaya baru di perkotaan terbius hasrat komodifikasi dan pamer harta. Rumah-rumah dibangun dengan memberi sedikit ruang berbagi. Sepenggal tanah terlalu berharga untuk disisakan bagi kepentingan umum dan keseimbangan lingkungan. Pemujaan diri menghancurkan ekosistem dan mengerutkan ruang publik.

Orang-orang kalah hidup di bantaran kali sebagai lumpen proletariat yang tak punya komitmen pada kelangsungan hidup. Sebagai orang yang tak punya harapan, tak punya tanggung jawab bagi kebaikan dan keindahan kota. Daerah aliran air jadi tempat menumpang hidup dengan cara menyampahi dan membunuh kehidupan. 

Kota tanpa karakter ibarat kota mati; hollow city dalam gambaran Clifford Geertz, yang mengembang dengan ruang hampa tanpa nilai, visi, dan hati. Kota ini bahkan tak cukup dikeluhkan sebagai rimba. Bukankah di kalangan hewan di rimba raya tata tertib masih ada dan perlindungan atas kelompok keluarganya tampak besar dibandingkan dengan perhatian pemerintahan kota terhadap warganya.

Bencana alam datang sebagai peringatan untuk menghidupkan kembali jiwa kota. Sebagaimana Al Quran mengingatkan, ”Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri bahwa Allah boleh jadi menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30: 41).

https://www.kompas.id/baca/opini/2021/02/25/jiwa-kota/

Comments

Popular posts from this blog

Karen Armstrong: Refleksi atas Agama

Refleksi Awal Ramadan 2021